"Mengecam Keras Tindakan Represif Oleh Oknum Resimen Mahasiswa (MENWA)" - LPM BHANU TIRTA

Tuesday, 17 September 2024

"Mengecam Keras Tindakan Represif Oleh Oknum Resimen Mahasiswa (MENWA)"


Ilustrasi: Ilham (LPM Bhanu Tirta)

Persma Bhanu Tirta - Penutupan acara PKKMB UNU Blitar 2024 yang seharusnya menjadi momen penuh kebersamaan dan persatuan, justru ternoda oleh tindakan represif dari salah satu oknum Resimen Mahasiswa (MENWA).

Kejadian bermula ketika organisasi mahasiswa ekstra kampus (ORMEK) seperti PMII, HMI, dan GMNI hendak masuk ke kampus untuk melakukan promosi organisasi mereka.

Ketua panitia beserta pihak rektorat telah memberikan izin, bahkan Wakil Rektor II, Yaoma Tartibi, dengan tegas menyatakan bahwa beliau bertanggung jawab penuh atas keputusan tersebut.

Menurut statuta kampus, jika Rektor tidak berada di lingkungan kampus, maka keputusan diambil alih oleh wakil rektor. Dalam hal ini, keputusan Bapak Yaoma untuk mengizinkan ORMEK masuk telah 'sah' dan harus dihormati.

Namun, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Salah satu anggota MENWA, Rohman, terlibat cekcok dengan panitia acara, dan situasi memanas hingga Rohman melakukan tindakan fisik yang represif terhadap seorang panitia wanita, yang merupakan Duta Kampus UNU Blitar.

Tindakan ini sangat mencoreng etika kampus, terlebih lagi karena yang menjadi korban adalah perempuan. Di lingkungan akademik yang seharusnya menjunjung tinggi kesetaraan, tindakan kekerasan fisik tidak dapat dibenarkan dalam bentuk apapun.

MENWA berdalih bahwa mereka merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 2022 sebagai dasar tindakan mereka. Namun, perlu dipahami bahwa dalam peraturan tersebut tidak ada klausul yang secara tegas melarang ORMEK untuk masuk ke kampus.

Dalam hukum, ada adagium "Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli", yang berarti bahwa tidak ada delik, tidak ada hukuman tanpa aturan yang jelas sebelumnya. Artinya, tindakan MENWA yang melarang ORMEK masuk adalah tindakan sepihak yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Tindakan represif ini tidak bisa dianggap enteng. Hal-hal kecil yang dianggap sepele sering kali bisa berujung pada dampak besar di masa mendatang, sebuah fenomena yang dikenal dengan butterfly effect.

Ketika dikonfirmasi, korban dari tindakan represif 'oknum' MENWA tersebut meminta pelaku untuk bertanggungjawab dan meminta maaf.

"Saya minta kepada pelaku untuk bertanggungjawab, berupa klarifikasi dan meminta maaf di depan umum. Sebab, hal seperti ini tidak dapat dinormalisir lagi. Jika dibiarkan, saya takut akan terulang kembali, bahkan lebih dari ini," ujarnya kepada kami. Senin, (16/09/2024).

Ia juga menegaskan bila kekerasan fisik seperti ini dibiarkan, hal itu dapat memicu ketidakpercayaan, memecah hubungan antar lembaga, dan merusak iklim akademik di kampus.

Lebih lanjut, MENWA, sebagai organisasi kemahasiswaan, harus melakukan introspeksi dan memastikan bahwa anggotanya bertindak sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang mereka junjung.

Oleh karena itu, kami mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh oknum MENWA. Pihak kampus, khususnya rektorat, harus bertindak tegas untuk menyelesaikan masalah ini dengan adil dan transparan.

Kampus harus kembali menjadi tempat yang aman, damai, dan menjunjung tinggi prinsip saling menghormati, di mana tidak ada tempat bagi kekerasan dan kesewenang-wenangan.


Editor: Aris Fadillah

Penulis: Ahmad Kafiy



Comments


EmoticonEmoticon