Persma Bhanu Tirta - Mahasiswa sering disebut sebagai agent of change, motor penggerak perubahan dalam masyarakat. Namun, bagaimana peran ini bisa dijalankan jika wadah resmi untuk menyalurkan aspirasi mereka tidak ada? Inilah yang terjadi di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Blitar, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) absen dari struktur organisasi kemahasiswaan.
Ketiadaan BEM dan DPM di UNU Blitar bukan hanya masalah struktural, tapi juga fungsional. Badan eksekutif maupun dewan perwakilan seharusnya menjadi jembatan antara mahasiswa dengan pihak universitas, menyuarakan aspirasi, mengadvokasi kebijakan, serta mewujudkan katalis perubahan di lingkungan kampus. Tanpa keduanya, siapa yang akan mengemban tugas-tugas krusial ini?
Beberapa argumen mungkin diajukan untuk membenarkan absennya dua lembaga ini. Mungkin ada yang berpendapat bahwa organisasi kemahasiswaan lain seperti Himpunan Mahasiswa (Hima) atau Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sudah cukup mewadahi aspirasi pelajar kampus.
Namun, kita perlu ingat bahwa HMJ maupun UKM memiliki fokus yang lebih spesifik dan terbatas. Mereka tidak didesain untuk menangani isu-isu secara luas serta strategis dalam tingkat universitas.
Ada pula kemungkinan bahwa pihak universitas merasa keberadaan BEM dan DPM akan mengganggu stabilitas kampus atau menimbulkan gesekan. Jika memang benar, maka ini adalah kekhawatiran yang keliru.
Justru dengan adanya BEM maupun DPM, aspirasi mahasiswa bisa disalurkan melalui jalur yang terstruktur dan konstruktif, alih-alih melalui aksi-aksi sporadis sehingga berkemungkinan kontraproduktif.
Ketiadaan BEM dan DPM juga berpotensi menciptakan kekosongan dalam hal pengembangan kepemimpinan mahasiswa.
Kedua lembaga ini seharusnya menjadi tempat bagi para mahasiswa untuk belajar berorganisasi, mengasah kemampuan manajerial, dan mengembangkan jiwa kepemimpinan. Tanpa wadah ini, kita kehilangan kesempatan untuk mencetak pemimpin-pemimpin masa depan.
Lebih jauh lagi, absennya BEM dan DPM bisa dilihat sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berpendapat serta berorganisasi mahasiswa.
Dalam era demokrasi sekarang, universitas seharusnya menjadi miniatur masyarakat ideal, di mana setiap suara dihargai dan setiap aspirasi mendapat ruang. Ketiadaan BEM maupun DPM seolah menegasikan prinsip ini.
Lantas, apa solusinya? Pertama, perlu ada dialog terbuka antara mahasiswa, civitas academica, serta pimpinan universitas untuk membahas urgensi pembentukan BEM dan DPM.
Kedua, jika pembentukan BEM dan DPM terkendala aturan internal universitas, maka perlu ada revisi aturan tersebut.
Ketiga, bisa juga dibentuk lembaga alternatif sementara sehingga fungsinya mirip dengan BEM maupun DPM, namun dengan nama dan struktur yang mungkin lebih sesuai pada karakteristik UNU Blitar Seperti Serikat mahasiswa atau lainnya, sebagai wadah penyaluran aspirasi dari mahasiswa ke pihak rektorat.
Sampai saat ini kampus belum menyediakan tempat penyampaian aspirasi secara jelas dan terstruktur. Pihak universitas hanya menyediakan barcode kritik serta saran. Tapi dalam kenyataannya layanan itu hanya formalitas dari instansi saja.
Pastinya, dengan kekosongan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Aspirasi mahasiswa perlu wadah yang jelas, terstruktur, dan diakui secara resmi oleh universitas.
Tanpa hal itu, kita tidak hanya kehilangan suara kritis mahasiswa, tapi juga kesempatan untuk membangun ekosistem kampus yang lebih demokratis dan progresif. Sudah saatnya UNU Blitar mempertimbangkan kembali keberadaan BEM maupun DPM, atau setidaknya lembaga serupa sehingga mampu menjadi corong aspirasi mahasiswa.
Karena pada akhirnya, universitas yang hebat bukan hanya dinilai dari prestasi akademiknya, tetapi juga seberapa besar ruang sehingga diberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk bersuara serta berkontribusi dalam pembangunan almamater tercinta.
Penulis: Najib Zam Zami
Editor: Aris Fadillah